Teknologi PLTN terus berkembang. Tak seperti di Chernobyl, PLTN kini makin tangguh terkena gempa besar dan mampu mengantisipasi keteledoran manusia sebagai operatornya. Namun, kasus Fukushima menunjukkan, masih ada kelemahan pada desain sistem pengaman atau keselamatannya.
Ketangguhan PLTN di Pulau Honshu telah teruji menghadapi guncangan gempa tektonik berkekuatan 8,9 skala Richter. Semua reaktor (46 buah), yang beroperasi umumnya bertipe Boiling Water Reactor (BWR) dan Pressurized Water Reactor (PWR), mampu merespons gempa kuat dengan mematikan secara otomatis reaksi fisi nuklir di dalamnya. "Yang BWR meliputi Mark I dan Mark III, masing-masing 30 persen. Selebihnya ABWR (Advanced BWR)," kata Mohammad Dhandhang Purwadi, Kepala Bidang Pengembangan Reaktor Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Semua sistem pendingin di reaktor-reaktor itu juga mampu menjalankan unit cadangan pendingin reaktor pascagempa, kecuali tiga unit PLTN di Fukushima Daiichi.
Argumen yang muncul atas kegagalan itu, Fukushima Daiichi menggunakan BWR generasi pertama (Mark I) yang mulai beroperasi tahun 1970-an. PLTN itu sudah tergolong usang.
Generasi awal PLTN umumnya memiliki umur operasi sekitar 30 tahun. Generasi yang lebih baru dirancang untuk bisa dioperasikan selama 40-60 tahun. Setelah habis masa operasinya, PLTN harus dimatikan reaktornya secara permanen.
Dalam perkembangan, muncul sekitar tujuh tipe PLTN, yaitu Reaktor Air Mendidih (BWR), Reaktor Air Bertekanan (PWR), Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurized Heavy Water Reactor/PHWR), Reaktor Grafit Berpendingin Air (Light Water Graphite Reactor/LWGR), Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor/FBR), dan Pebble Bed Reactor (PBR).
Di antara 7 reaktor itu, tipe PBR terbanyak digunakan, mencapai 70 persen jumlah yang ada di dunia. BWR yang kedua terbanyak. Dua tipe reaktor itu terus mengalami pengembangan, terutama pada peningkatan sistem keamanannya. Kini, reaktor BWR telah lahir tiga sampai empat generasi baru.
BWR Mark I masih menggunakan sistem pompa pendingin yang bergantung pada pasokan listrik. Di generasi kedua, BWR Mark II dan ABWR, tak diperlukan listrik untuk memompa air pendingin karena menggunakan termosifon, yaitu sistem pertukaran panas secara pasif berdasarkan sirkulasi alamiah.
BWR yang digunakan di Jepang adalah tipe Mark I, III, IV, dan ABWR. ABWR berukuran lebih besar dan memiliki sistem pembungkus bahan bakar yang dapat menahan tekanan alami lebih baik dari generasi awal.
Dibandingkan dengan PWR dan PHWR, tipe BWR tidak lebih baik dari segi desain sistem pengaman. Keunggulannya lebih pada harga yang relatif lebih murah dan ukuran lebih kecil.
Pada BWR, reaksi fisi inti atom menggunakan uranium alam yang diperkaya dari 0,7 persen menjadi 3-5 persen. Adapun PWR dan PHWR menggunakan uranium alam.
PWR menggunakan dua siklus pendinginan reaktor. Siklus pertama diberi tekanan tinggi untuk menghindari pendidihan air pendingin dalam reaktor dan saluran siklus pertama. Prinsip kerja PWR sama dengan PHWR. Bedanya, PHWR tidak menggunakan air biasa (H0), tapi air berat (oksida deuterium/DO).
Pada teknologi PLTN yang baru, semua sistem sudah bekerja pasif, tidak bergantung pada pasokan listrik. Sistem ini menggunakan cerobong tinggi untuk pengaturan udara ke atas membentuk sirkulasi alami.
Pada ABWR, ruang pengungkung yang besar (50 kali lebih besar) memungkinkan pendinginan lebih baik.
Titik lemah
Semua sistem yang diciptakan manusia, termasuk PLTN, memang tidak sempurna, selalu ada sisi lemah, apalagi bila berhadapan dengan kekuatan alam yang tak terduga. Seperti ditunjukkan oleh kasus meleleh, bocor, hingga meledaknya reaktor PLTN, mulai dari Chernobyl, Three Mile Island (TMI), hingga Fukushima. Namun, sumber penyebabnya berbeda. Bisa faktor alam atau manusia. Di situ terungkap kelemahan tipe-tipe reaktor yang digunakan.
Dalam sejarah PLTN, kecelakaan yang berakibat melelehnya inti reaktor adalah PLTN TMI di Amerika Serikat dan Chernobyl di Ukraina.
Kecelakaan TMI tipe PWR terjadi pada 28 Maret 1979. Kecelakaan diawali malfungsi sistem pendingin sekunder sehingga suhu pendingin primer naik, diikuti kegagalan penutup katup, sehingga sebagian besar air pendingin terkuras dari reaktor. Akibatnya, inti reaktor meleleh dan berdampak lolosnya sebagian kecil gas radioaktif ke lingkungan. Untungnya, kecelakaan ini tidak menimbulkan korban.
Hal sebaliknya terjadi di Chernobyl, 25 April 1986. Kecelakaan terjadi pada unit 4 yang menjalani uji kinerja turbin. Penurunan daya rendah pada reaktor membuat kerja reaktor jenis LWGR ini menjadi tidak stabil. Ketika aliran air pendingin berkurang, daya reaktor justru meningkat. Upaya mematikan reaktor gagal. Daya reaktor meningkat drastis sehingga elemen bahan bakar pecah.
Kecelakaan ini akibat desain reaktor yang tidak aman serta operator yang kurang terlatih dan kurang mengutamakan keselamatan.
Sebagian besar material radioaktif yang lolos terbawa angin ke Ukraina, Belarus, Rusia, bahkan sampai ke Eropa. Tercatat 28 orang meninggal dalam 4 bulan setelah kecelakaan, disusul kemudian 19 orang.
Penelitian di Rusia, Ukraina, dan Belarus, lebih dari 1 juta orang terpengaruh radiasi. Pada tahun 2000, sekitar 400 kasus kanker tiroid terdiagnosis pada anak-anak yang terpapar radiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar