Selasa, 14 Juli 2009

Siap-siap, Rasakan Peluncuran Apollo 11 Lewat Internet


Rekonstruksi peluncuran dan misi Apollo 11 ke Bulan 40 tahun lalu akan disiarkan melalui situs www.wechoosethemoon.org mulai 16 Juli 2009.


JAKARTA, KOMPAS.com - Ketika Neil Alden Armstrong dan Buzz Aldrin pertama kali menginjakkan kaki di bulan, mungkin beberapa dari pembaca sekalian belum hadir di dunia. Tetapi bukan berarti Anda tidak bisa merasakan fenomena yang terjadi semasa perang dingin tersebut.

Teknologi internet yang ada sekarang memungkinkan anda untuik merasakan apa yang terjadi pada tanggal 16 Juli 1969 tersebut. Untuk memperingati 40 tahun peluncuran Apollo 11 dan peristiwa manusia pertama di bulan pada hari Kamis ini (16/7), situs wechoosethemoon.org diluncurkan sebagai rekonstruksi peristiwa tersebut.

Situs ini diprakarsai oleh John F. Kennedy Presidential Library and Museum yang ingin agar visi John F Kennedy mengenai perjalanan ke bulan (untuk mengalahkan Rusia pada saat itu) dapat dirasakan oleh generasi muda sekarang.

"Misi kita adalah untuk berbagi sejarah dengan generasi baru," ujar Tom McNaught, juru bicara John F. Kennedy Presidential Library and Museum yang ikut terlibat dalam proyek rekonstruksi ini seperti dilansir AFP.

McNaught juga menambahkan bahwa pada saat itu, mengalahkan rusia untuk mendarat di bulan adalah prioritas utama Amerika. "Satu-satunya cara untuk mengalahkan rusia dalam lomba luar angkasa adalah dengan mendarat di bulan sebelum mereka sempat," jelas McNaught menambahkan.

Dalam situs ini, pengguna internet bisa merasakan detik-detik peluncuran Apollo 11 yang akan berlangsung pada hari Kamis (16/7) ini, tepat 40 tahun peluncuran Apollo 11. Perjalanan dari bumi hingga ke bulan akan direkonstruksi secara interaktif mulai dari keberangkatan Apollo 11 hingga bagaimana Neil Armstrong dan Buzz Aldrin mendarat di bulan.

Hal tersebut akan didukung dengan rekaman komunikasi asli antara Apollo 11 dengan NASA, foto, dan video kejadian-kejadian penting dari misi luar angkasa yang berlangsung selama empat hari tersebut. Suara astronot yang disiarkan lewat radio juga akan diperdengarkan.

"Masyarakat akan dapat mendengar, melihat, dan mengamati lebih dari apa yang mereka bisa lihat pada tahun 1969 di mana pada saat itu tidak ada media yang menampilkan kejadian dari menit ke menit selama empat hari," ungkap McNaught. Bagi McNaught, situs tersebut dibuat seinteraktif mungkin agar pencapaian di tahun 1969 tersebut bisa dinikmati generasi muda sekarang.

Situs www.wechoosethemoon.org akan aktif paling tidak untuk setahun di mana pengunjung situs bisa memutar ulang bagian-bagian dari misi yang mereka inginkan. Hitungan mundur perjalanan manusia ke bulan sudah dimulai dari sekarang. Siap-siap...

Manusia Belum Pernah Mendarat di Bulan?


KOMPAS.com — Empat puluh tahun telah berlalu sejak dunia dikejutkan oleh kabar keberhasilan pendaratan Apollo 11 di Bulan. Benarkah astronot Neil Armstrong telah menjejakkan kakinya di satelit Bumi tersebut?

Pertanyaan menggelitik itu memang terus menyertai kisah misi Apollo 11 dan pendaratannya di permukaan Bulan pada 21 Juli 1969.

Kemudian, astronot Neil Armstrong dan Edwin ”Buzz” Aldrin berjalan di permukaan Bulan. Cuplikan video menggambarkan Armstrong mengibarkan bendera Amerika Serikat dan melompat-lompat. Aksi ini menegaskan keberhasilan pendaratan manusia di Bulan.

Sejumlah pihak menyangsikan pendaratan itu. Cuplikan video tersebut penuh dengan keganjilan. Ada yang menganggap video itu tidak dibuat di Bulan, tetapi di sebuah tempat khusus di sekitar Negara Bagian Arizona, AS.

Astronom Phil Plait termasuk yang sangsi. Dia memberikan penjelasan pada sebuah program radio ”Are We Alone” yang dikelola SETI Institute. Ini adalah lembaga nirlaba di California, AS, yang fokus pada penjelasan keberadaan makhluk pintar lain di jagat raya.

Plait mengatakan, ada pihak yang skeptis dengan mempertanyakan foto-foto Armstrong dan Aldrin yang memperlihatkan langit tanpa bintang. ”Tidak ada atmosfer di Bulan sehingga bintang-bintang seharusnya terlihat lebih terang.”

Pihak yang skeptis juga mempersoalkan bendera AS dalam cuplikan video yang tampak berkibar, padahal di Bulan tidak ada udara.

Mereka juga mengajukan teori bahwa para astronot mungkin sudah terpanggang radiasi ketika menembus sabuk Van Allen dalam perjalanan ke Bulan.

Kepercayaan melemah

Sebenarnya kepercayaan soal pendaratan di Bulan itu sudah semakin lemah dalam beberapa tahun terakhir. Isu ini mencuat kembali ketika TV Fox pada 2001 menyiarkan sebuah program yang diberi judul ”Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?”

Acara TV Fox itu, kata Dr Tony Philips, pada situs Science@NASA, menggambarkan betapa Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) tidak lebih dari sekadar ”produser film yang tolol”.

Semua kesangsian itu telah sering dijawab langsung Armstrong, komandan misi Apollo 11. Tokoh kelahiran Wapakoneta, Ohio, 5 Agustus 1930, itu bersama astronot Buzz Aldrin mengaku telah menikmati permukaan Bulan selama 2,5 jam.

Di Bulan, mereka berdua menancapkan bendera AS dan sebuah spanduk bertuliskan ”Di sini manusia dari planet Bumi menginjakkan kakinya pertama kali. Kami datang dengan damai untuk seluruh umat manusia”.

Mengapa awalnya banyak yang percaya? Bagi AS, pendaratan di Bulan adalah sebuah pencapaian besar yang membuat AS seolah-olah unggul dari pesaing utama ketika itu, Uni Soviet, dalam program luar angkasa.

Bagi salah satu pesaing AS saat ini, Rusia, teori konspirasi mengenai kebohongan pendaratan di Bulan tahun 1969 itu menjadi semakin populer. Rusia membuat sejumlah situs bahkan film-film dokumenter di televisi untuk menyampaikan kebohongan besar pendaratan di Bulan itu.

Konstelasi


Boleh jadi, hal itu pula yang membuat mantan Presiden AS George W Bush memutuskan untuk menghapuskan penerbangan pesawat ulang alik pada 2010 setelah musibah pesawat ulang alik Columbia pada 2003.

Sebagai gantinya, Bush pada 2004 meluncurkan program lebih ambisius, Constellation (Konstelasi), yang bertujuan membawa warga AS kembali ke Bulan pada 2020, dan menggunakan Bulan sebagai tempat peluncuran pesawat luar angkasa berawak manusia menuju Mars.

Michael Griffin, mantan pemimpin NASA yang mendorong program Constellation, menjelaskan, pesawat ulang alik membuat AS bertahan terlalu lama pada penerbangan luar angkasa di orbit rendah, padahal kini muncul pesaing baru dalam program luar angkasa, antara lain China. ”Kita (AS) harus kembali ke Bulan karena itu adalah langkah berikutnya. Bulan hanya beberapa hari dari rumah. Mars hanya beberapa bulan dari Bumi,” papar Griffin.

Sayangnya, anggaran NASA tidak cukup untuk membiayai pembuatan kapsul Orion Constellations, kapsul yang lebih maju dan lebih besar ketimbang versi kapsul Apollo. NASA juga kekurangan biaya untuk menyiapkan roket peluncur Ares I dan Ares V yang diperlukan untuk mengirim kapsul itu ke orbit.

Biaya keseluruhan Constellation itu diperkirakan 150 miliar dollar AS. Anggaran eksplorasi luar angkasa AS pada 2009 hanya 6 miliar dollar AS.

Wajar apabila Senator Bill Nelson (Florida) menegaskan, NASA tidak akan bisa melakukan tugas yang diberikan kepadanya, yaitu berada di Bulan pada 2020. Senator yang mantan astronot itu bahkan mengkhawatirkan, saat program pesawat ulang alik berakhir, AS tak akan bisa mengirimkan astronotnya ke stasiun luar angkasa ISS, kecuali menumpang Soyuz milik Rusia.

Hal itu tentu menjadi kabar buruk bagi NASA dan khususnya Armstrong yang tentu tidak ingin pendaratannya di Bulan menjadi bahan olok-olokan. Meski demikian, ada cara pembuktian lebih sederhana, yaitu menemukan kembali bendera dan spanduk yang ditancapkan Armstrong itu dengan teleskop dari Bumi. Tentu dengan harapan bendera itu masih tertancap di tempatnya.

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi


KOMPAS.com — Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?, 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat

Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan

Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.

Jepang Gembleng Pertahanan Cyber Indonesia


Jakarta - Indonesia mendapat bala bantuan dari Jepang dalam mempersiapkan pertahanan cybernya. Bantuan tersebut diberikan gratis dalam bentuk Training Secure Programming dari Japan Computer Emergency & Response Team/Coodination Center (Japan CERT).

MoU antar kedua negara dilakukan ketika delegasi Jepang berkunjung ke Indonesia dan diwakili oleh Deputi Director JP-CERT, Keisuke Kamata hari Selasa (14/7/2009). Sementara dari pihak Indonesia diwakili Ketua ID-SIRTII Eko Indrajit.

IGN Mantra, Analis Senior Keamanan Jaringan dan Pemantau Trafik Internet ID-SIRTII mengatakan, pelatihan gratis ini berupa Secure Programming C/C++, baik aplikasi maupun tips dan triknya. Instruktur yang diterjunkan langsung diimpor dari Jepang.

"Training akan diadakan di Jakarta dan peserta yang diharapkan adalah memiliki latar belakang programming C/C++, baik profesional atau mahasiswa, tujuannya adalah memperkuat pertahanan cyber internet Indonesia," lanjutnya kepada detikINET, Rabu (17/7/2009).

Ditambahkan Eko, latar belakang pelatihan gratis ini karena melihat begitu besarnya serangan internet ke Indonesia. "Siapa lagi yang dapat membuat pertahanan cyber ini kalau tidak generasi mudanya yang melek teknologi informasi, jadi diharapkan dapat mengejar India yang sangat fokus untuk mengembangkan industri teknologi informasinya," jelasnya.

Lantaran jumlah kursi untuk pelatihan yang rencananya digelar pada Oktober ini tidak banyak, maka ID-SIRTII akan melakukan seleksi kepada para peserta. "Sebab, bila tidak diseleksi kemungkinan besar akan sangat banyak pesertanya dan menyulitkan sisi administrasinya," pungkas Mantra.
( ash / faw )

2014, SBY, Mega, JK Jadi The Last Mohicans


Selasa, 14 Juli 2009 | 14:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Para pemimpin partai politik besar, seperti Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla, dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto harus mampu melakukan regenerasi politik terhadap generasi yang lebih muda seusai Pemilu Presiden 2009. Dengan demikian, tongkat estafet kepemimpinan mereka dapat segera dilanjutkan.

"Mega, JK, SBY, Wiranto, itu akan menjadi "The Last Mohicans" atau generasi terakhir. Mereka harus secara sengaja melakukan regenerasi. Jika tidak, dikhawatirkan pada tahun 2014, partai mereka akan menjadi partai gurem karena kekurangan pemimpin," ujar Direktur Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA kepada para wartawan, Selasa (14/7) di Jakarta.

The Last of the Mohicans (1826) sendiri merupakan novel fiksi karya James Fenimore Cooper yang bercerita tentang nasib suku Mohican terakhir di tengah-tengah perang yang berkecamuk antara Perancis dan suku Indian melawan Inggris di tahun 1757. Denny melanjutkan, regenerasi yang memiliki potensi melanjutkan kepemimpinan partai politik adalah mereka yang dibesarkan di era reformasi.

"Terserah, apakah generasi muda itu berasal dari sipil ataupun militer," ujarnya.