Jumat, 28 Januari 2011

Soal Halal, Dengar NU dan Muhammadiyah

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengingatkan agar DPR berhati-hati dalam membahas Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) mengingat telah terjadi“salah kaprah”dalam menerjemahkan substansi hukum Islam. Karena itu, DPR diminta harus mendengarkan semua kelompok agama di Indonesia agar RUU JPH tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. “Beberapa substansi yang harus dipikirkan dengan jernih, pertama, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila yang memberikan perlindungan kepada semua pemeluk agama. Sebuah RUU harus dapat dirasakan manfaatnya untuk semua penganut agama di Indonesia,”kata Andi Najmi Fuadi, Ketua Lembaga Peyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU, di Jakarta, Sabtu (29/1/2011). Menurut dia, negara selayaknya memberikan perlindungan dari produk-produk yang dilarang oleh agama, tidak hanya bagi muslim tapi juga umat agama lain di Indonesia. Ia berpendapat, substansi RUU tersebut hanya perlu mengatur produk-produk yang dilarang oleh masing-masing agama. Karena itu RUU tidak perlu menggiring agar semua produk diinventarisir kehalalannya. "Itu pemborosan, buang-buang energi, dan eksklusif. Carilah formula agar RUU itu cukup menginventarisir produk yang dilarang oleh agama. Logikanya, jika sudah ada label“dilarang agama”maka yang lain secara otomatis boleh. Tidak seperti sekarang mirip kejar setoran, di mana semua produk ditarget harus ada sertifikat halal,”kritiknya. Andi menambahkan, persoalan kedua adalah, kalaupun DPR dan Pemerintah memaksakan substansi RUU JPH adalah inventarisir kehalalan semua produk, maka semua organisasi keagamaan harus diberi hak untuk menentukan kehalalan sebuah produk sebagai konsekuensi negara berlandaskan Pancasila. “Dalam lokus yang lebih kecil yaitu Islam, beberapa ormas Islam perlu diberi hak untuk menentukan kehalalan sebuah produk. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah perlu diberi otoritas karena aspek kesejarahan, kompetensi, dan kebesaran pengikutnya.”