Harus diakui, liga yang digagas pengusaha Arifin Panigoro ini merupakan sebuah bentuk dari kekecewaan terhadap PSSI yang dianggap gagal menghadirkan prestasi sepak bola. Liga yang sejatinya sebuah partisipasi masyarakat ini juga diidamkan sebagai sebuah usaha untuk ikut mengangkat prestasi sepak bola Indonesia karena liga profesional produk PSSI, Liga Super Indonesia (LSI), dinilai gagal menciptakan tim nasional tangguh.
LPI juga dicita-citakan sebagai sebuah kompetisi profesional yang berfondasi kemandirian finansial dan berpilarkan industri. LPI juga diimpikan menyuguhkan ”hidangan” sepak bola bermutu tinggi dengan bahan-bahan (pemain) impor. Para pengelola LPI selalu menyebut produknya sebagai kompetisi profesional mandiri tanpa APBD.
Sebagai sebuah terapi kejut bagi kemajuan sepak bola, LPI barangkali bisa diterima dalam batas-batas tertentu. Namun, sebagai obat mujarab, apalagi sebagai terobosan mengatrol prestasi sepak bola, LPI masih menjadi tanda tanya besar. Dalam situasi sekarang, LPI bahkan menjadi faktor paling potensial yang bisa mengucilkan Indonesia dari pergaulan sepak bola internasional. Ini terkait dengan ultimatum Blatter sejak bertemu Ketua Umum KONI/KOI Rita Subowo, dua pekan lalu di Zurich, Swiss, dan terakhir saat berada di Dili, Timor Leste, Selasa lalu.
Blatter yang pada Juni masih berambisi melaju dalam pemilihan Presiden FIFA tampaknya jauh lebih peduli pada problem LPI ketimbang sejumlah masalah lain dalam kisruh PSSI. Pria yang menguasai FIFA sejak 1998 itu sampai menegaskan berkali-kali soal sikap kerasnya yang hendak menghukum Indonesia jika masalah ”liga yang memisahkan diri” ini tak segera rampung.
Kembali ke LPI, harus disadari pula, seperti kata Blatter, tidak dibenarkan ada dua liga sepak bola profesional dalam satu negara. Bagi FIFA, kehadiran LPI memang membuat tata kelola kompetisi di sebuah negara menjadi berantakan sampai-sampai dia berkeyakinan bahwa ada intervensi terhadap federasi, dalam hal ini PSSI.
Sebagai liga yang tidak diakui oleh federasi, LPI memang menjadi dilematis. Di satu sisi, kehadirannya tidak bertentangan dengan hukum negara. Namun, di sisi lain, eksistensinya yang tidak legal ditabukan oleh hukum sepak bola, dalam hal ini FIFA sebagai lembaga tertinggi sepak bola dunia.
Dalam konteks kisruh terkini, kondisi dilematis ini menjadi kendala serius dalam menemukan jalan terbaik demi rekonsiliasi persepakbolaan nasional. Sementara itu, wacana bergabungnya LPI dalam wadah federasi PSSI juga terlalu dini untuk menempatkan mereka di Divisi III dalam struktur kompetisi PSSI. Meski juga logis mengingat kompetisi di bawah PSSI jauh lebih dulu ajek, wacana Divisi III dipastikan tinggi resistensinya, terutama di kalangan masyarakat yang sudah telanjur tidak percaya kepada PSSI.
Di sisi lain, harus disadari pula oleh para pengelola LPI, mereka tidak bisa serta-merta mengklaim sebagai kompetisi paling profesional, apalagi berada dalam strata tertinggi. Ini karena meski tidak memakai dana APBD, toh LPI belum teruji oleh waktu dan aneka kondisi. Sebagai tontonan, LPI juga masih jauh dari mutu yang lebih baik ketimbang ”restoran sebelah”, LSI, yang memang cikal bakalnya terbentuk sejak 1994 saat Galatama dan Perserikatan dilebur dalam satu kompetisi.
Mengingat berbagai kondisi di atas, penyelesaian kisruh PSSI terkait dengan kehadiran LPI memang tidak mudah dan memerlukan kearifan setiap pihak untuk mau membuka hati, terutama menurunkan ”nada suara” masing-masing demi kepentingan sepak bola secara umum. Tanpa ultimatum FIFA pun, kondisi dualisme kompetisi profesional ini pasti tidaklah sehat bagi perkembangan sepak bola Indonesia yang sudah jauh tertinggal dalam tata pergaulan internasional.
Sebagai ”bapak” dari seluruh kegiatan sepak bola di Tanah Air, akan sangat produktif jika PSSI pun berinisiatif membuka ruang dialog dengan pengelola LPI. Jika kedua pihak duduk bersama dengan semangat rekonsiliasi, tampaknya sepak bola Indonesia akan menghadapi iklim yang lebih bersahabat, bahkan cerah karena bagaimanapun, kondisi saat ini hanya membawa awan mendung dan hujan badai yang memorakporandakan sendi-sendi persepakbolaan nasional.
Ke depan, jika rekonsiliasi tercapai, apa pun bentuknya, tampaknya para pengelola sepak bola nasional harus memikirkan ulang pola kompetisi sebelum 1994 ketika Galatama dan Perserikatan masih berada dalam kompetisi yang berbeda semangatnya. Yang satu profesional, yang lainnya murni amatir sebagaimana khitahnya.
Sebab, sejatinya awal kehancuran fondasi sepak bola nasional adalah saat bond-bond perserikatan yang sejatinya amatir berubah bentuk menjadi klub semiprofesional (kemudian profesional penuh). Bond-bond perserikatan yang tadinya menjadi induk dari kompetisi klub di setiap wilayah kemudian hanya dipakai sebagai ajang permainan politik penguasa daerah. Mereka tak pernah bisa menjadi profesional karena terpenjara oleh kenikmatan dana APBD. Ironisnya lagi, kompetisi berjenjang di setiap daerah, yang tadinya marak semasa perserikatan masih berstatus amatir, tak pernah berputar lagi karena pengelolanya sibuk dengan LSI yang bergelimang uang.