Senin, 15 Februari 2010
Dibakar, Dikubur, dan 2 Jam Kemudian Hidup Lagi
Atraksi dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Anak buah H Abdul Aziz yang dibakar itu adalah Abu Sony (35), warga Desa Wangkal, Kecamatan Gading.
Sony dibungkus dengan karung warna coklat. Beberapa petugas Pagar Nusa dengan cekatan mengikat karung tersebut. Karung berisi tubuh Sony kemudian dimasukkan ke dalam liang lahat berukuran 1 x 2 meter. Setelah dipastikan masuk liang, beberapa petugas menyiramkan bensin.
Petugas lain bersiap membakar karung berisi manusia tersebut. Sebelum api berkobar, H Abdul Aziz terlihat khusyuk di atas liang lahat merapalkan doa. Ia kemudian menginstruksikan kepada petugas untuk menyalakan api dan membakar karung berisi tubuh Sony.
Api berkobar-kobar. Beberapa ibu-ibu berteriak histeris menyaksikan manusia dimasukkan karung, lalu dibakar hidup-hidup. Tujuh menit kemudian, setelah api mulai mengecil, H Abdul Aziz memberikan perintah kepada petugas untuk mengubur jasad yang dimasukkan ke dalam karung.
Liang lahat tertutup sekitar pukul 10.20 WIB. Suasana pun hening. Beberapa ibu-ibu kemudian meneriakkan kalimat "Allahu Akbar". “Saya tidak tega. Takut mati sungguhan orang itu,” ujar Ny Lilik, asal Jalan RA Kartini.
Berselang dua jam kemudian, H Abdul Aziz memberikan perintah kepada beberapa petugas Pagar Nusa supaya menggali liang lahat. Ribuan penonton terlihat tegang. Mereka mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi. Setelah dapat digali, H Abdul Aziz kembali duduk di atas liang lahat dan terlihat khusyuk membaca doa.
Lima menit berselang, penonton tercengang. Jasad Sony tidak ada di dalam liang lahat. H Abdul Aziz lalu mengambil mikrofon dan meminta penonton tenang. “Tenang. Semua terjadi karena Allah,” ujarnya lalu menghampiri kotak berukuran 1 meter x 1 meter, yang berjarak sekitar 5 meter dari liang lahat.
Lalu, kotak warna hitam dibuka. Ternyata, Sony sudah di dalam kotak tersebut dan terlihat berdiri. Sontak, ribuan penonton bertepuk tangan dan berteriak kegirangan, terutama kalangan ibu-ibu yang sejak awal pertunjukan terlihat tegang histeris.
Abu Sony, ketika dikonfirmasi Surya, hanya memberikan sedikit keterangan. Ketika hendak diambil fotonya dia menolak. Menurut dia, ketika dimasukkan ke dalam karung dia masih sadar. Setelah itu, dia seperti jatuh pingsan. Namun, setelah itu, dia mengaku bisa melihat atraksi di sekitar lokasi. Namun, dia hera, karena tidak ada satu penonton pun menyapanya. “Saya masih bisa lihat penonton,” tukasnya.
H Abdul Aziz menjelaskan, apa yang dilakukan adalah peragaan ilmu supranatural, yakni ilmu Latifatul Roh. “Atas izin Allah, saya memindahkan jasad dan rohnya untuk sementara waktu. Memang, sewaktu dibakar, Sony masih berada di lokasi dengan radius 100 meter,” katanya.
H Abdul Aziz mengaku, dia sudah lama tidak memeragakan ilmu kanuragan tersebut. “Saya sudah lama tidak main. Takut dikira sombong. Ini kebetulan saja, ada pentas budaya. Makanya, saya mau bermain,” paparnya.
Ia meyakinkan tidak semua orang bisa melakukan atraksi ini. “Ilmu itu bisa dipelajari. Tapi, kalau tidak memiliki bakat alami, enggak akan bisa maksimal,” tandasnya.
MUI: Kawin Siri Haram kalau Ada Korban
Pendapat itu disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Senin (15/2/2010). Dia mengatakan, MUI belum membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2010.
Ma’ruf menegaskan, MUI tidak mengenal istilah nikah siri atau nikah kontrak. Selama ini, MUI menggunakan istilah pernikahan di bawah tangan untuk setiap pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Pada tahun 2005, para ulama MUI sudah memutuskan pendapat mengenai pernikahan di bawah tangan. Menurut para ulama, pernikahan tersebut sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun menikah, seperti yang diatur dalam ajaran agama Islam.
Meski sah, Ma’ruf menjelaskan bahwa pernikahan itu bisa halal, tetapi bisa juga menjadi haram. Pernikahan sah dan halal apabila tidak menimbulkan korban atau kerugian bagi kedua belah pihak. Namun, pernikahan sah bisa menjadi haram apabila menimbulkan korban.
Mengadopsi Keunggulan Universitas Al Azhar, Kairo
Jika terdapat perguruan tinggi Islam bernomor satu, mestinya juga ada yang dikenal sebagai nomor dua. Sepanjang pengetahuan saya, selama ini belum ada pergurtuan tinggi Islam yang mengklaim dirinya di urutan nomor dua. Kekosongan inilah mestinya harus segera diisi. UIN Maliki Malang, berencana menempatkan diri pada posisi itu, yaitu sebagai perguruan tinggi nomor dua setelah al Azhar. Tetapi target itu diperkirakan masih lama dicapai, kira-kira antara 25 sampai 30-an tahun lagi.
Target tersebut didasarkan atas perhitungan yang matang. Meraih cita-cita besar dan mulia mesti memerlukan waktu lama. Selain itu harus memilih dan menghitung strategi yang tepat. Tanpa ada perhitungan rasional, hanya akan ditertawakan banyak orang. Untuk sampai pada target itu diperlukan modal, berupa semangat, kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang tangguh, perencanaan, dan langkah-langkah strategis lainnya.
Saya melihat, kebesaran Universitas Al Azhar, selain telah melewati usia yang sedemikian panjang, juga telah berhasil mengembangkan tenaga akademik, baik secara kuantatif maupun kualitatifnya. Setahu saya, dua hal yang menonjol dari universitas itu, yang harus dikejar. Pertama, sebagai perguruan tinggi Islam, Al Azhar menempatkan al Qurán pada posisi strategis. Para pimpinan kampus terkemuka itu, kebanyakan hafal al Qurán dan begitu pula para mahasiswanya. Kedua, Universuitas Al Azhar telah didukung oleh financial yang cukup. Kabarnya, kampus ini telah memiliki sumber-sumber pendanaan yang lebih dari cukup untuk membiayai operasionalnya.
Dua kelebihan itu, jika UIN Maliki Malang bermaksud memposisikan diri setelahnya, maka dengan cara apapun harus dikejar. Mengejar aspek yang pertama, bisa dilakukan, namun memerlukan waktu lama. Saya perkirakan akan berhasil diraih antara 25 hingga 30 tahun lagi. UIN Maliki Malang telah memulai mengejar ketertinggalan itu. Hal itu dilakukan dengan cara, bahwa sejak tahun lalu (2009), UIN Maliki Malang mulai merekrut mahasiswa baru hafal al Qurán 30 juz, sebanyak 34 orang dari berbagai disiplin ilmu. Mereka itu diberi beasiswa hingga lulus. Jika prestasi mereka unggul, beasiswa itu akan diteruskan hingga S2 dan bahkan S3. Selanjutnya, apabila keunggulan mereka itu tetap terjaga, semuanya akan diangkat sebagai dosen tetap UIN Maliki Malang.
Strategi itu akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. UIN Maliki Malang setiap tahun akan selalu merekrut calon mahasiswa dalam jumlah 40 an dan memperlakukan mereka secara sama sebagaimana tersebut di muka. Dengan strategi seperti itu, maka diperkirakan mulai sepuluh tahun ke depan, UIN Maliki Malang, setiap tahun mengangkat dosen baru, selain cerdas, dedikatif, juga hafal al Qurán. Selanjutnya, selama kurang lebih 15 tahun lagi ke depan, ------- atau 25 tahun jika dihitung dari sekarang, kampus ini akan memiliki dosen yang hafal al Qurán dan sekaligus memiliki bobot keilmuan yang unggul, berjumlah mencapai 150 orang.
Para dosen yang memiliki keunggulan tersebut, diperkirakan setelah mengabdi selama lima belas hingga dua puluih tahun ke depan, akan berhasil menduduki posisi-posisi penting di kampus ini, baik misalnya sebagai rektor, wakil rektor, dan pimpinan fakultas ataupun jabatan fungsional lainnya. Selain itu, mereka dengan kelebihan yang dimiliki, akan melakukan peran-peran strategis dalam mengembangkan ilmu, melalui kegiatan penelitian, kajian, atau pengembangan pemikiran, yang semuanya itu merupakan tugas pokok sebagai warga kampus perguruan tinggi Islam ini.
Sedangkan untuk mengejar, ketersediaan daya dukung financial, setelah UIN Maliki Malang memiliki otonomi luas untuk mengembangkan diri, -------tanpa lepas dari dukungan pemerintah, akan mengembangkan sumber-sumber pendanaan itu. Langkah strategis di bidang ini, -------- melalui holding Company yang dimiliki, akan bisa mengembangkan usaha, misalnya di bidang pertanian dan peternakan. Mengembangkan usaha yang beresiko rendah, misalnya penanaman kayu sengon saja, dengan hitungan sederhana, ternyata setiap 1000 hektar lahan pertanian, akan mendapatkan untung bersih, sedikitnya satu triliyun setiap lima tahunnya.
Berdasar hitungan spontan dan sederhana itu, maka dapat dibayangkan bahwa untuk mendapatkan sumber pendanaan, -------sebagaimana yang dimiliki oleh Universitas Al Azhar, rasanya UIN Maliki Malang tidak akan mendapatkan kesulitan. Saya menduga, jika ternyata ada kesulitan, maka bukan terletak pada bagaimana mencari dan mengembangkan usaha, melainkan ketika menghadapi sikap mental sementara orang di kampus ini. Pada umumnya, mereka belum memiliki jiwa entrepreneurship. Sebaliknya, selama ini yang berkembang adalah jiwa pegawai. Orang-orang yang berjiwa pegawai, biasanya hanya mau bekerja jika ada tugas yang jelas, honor, dan atau tunjangan. Maka hal itu harus diubah menjadi perpaduan antara jiwa birokrasi dan sekaligus etrepreneurship.
Umpama sebagian besar warga kampus ini memiliki niat, visi, dan tekat yang sama dan dipegangi secara konsisten atau istiqomah, maka sekalipun berat, UIN Maliki Malang, -----saya yakin, masih bisa mengejar kemajuan Universitas Al Azhar. Apalagi sesungguhnya, umat Islam di Indonesia jauh lebih produktif, inovatif, dan menyandang etos kerja yang amat tinggi. Jika diperkirakan ada hambatan, maka biasanya justru bersumber dari internal organisasi. Oleh sebab itu, diperlukan managemen dan leadership yang kuat, agar bisa menggerakkan, memperkuat, dan sekaligus mengarahkan semua elemen yang ada, ke arah cita-cita ideal itu. Wallahu a’lam.
Merumuskan Cita-Cita UIN Maliki Malang Ke Depan
Jika kampus ini gambarannya seperti itu, maka akan didatangi oleh calon mahasiswa dari berbagai negara. Sementara ini, jika ada mahasiswa asing, jumlahnya masih terbatas. Hanya beberapa orang saja mahasiswa yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, dan tailand. Anak-anak Indonesia pada saat ini, sebaliknya masih pergi belajar ke luar negeri. Suatu saat nanti, anak-anak luar negeri akan belajar di UIN Maliki Malang.
Cita-cita besar seperti itu, mungkin oleh sementara orang disebut mustahil. Hal itu tidak mengapa disebut seperti itu. Cita-cita atau rencana besar dan mulia, biasanya memang tidak segera dipercaya banyak orang. Apalagi hal itu adalah sesuatu yang baru, belum banyak anak luar negeri datang mengambil kuliah di Indonesia. Sehingga wajar jika cita-cita seperti itu diragukan keberhasilannya.
Namun seperti yang telah diinformasikan sejak beberapa bulan lalu, bahwa pada pertengahan tahun ini, tidak kurang dari 42 anak luar negeri, akan datang ke UIN Maliki Malang untuk belajar di berbagai bidang studi. Ke empat puluh dua orang itu, masing-masing 10 orang dari Yaman dan Sudan. Selain itu, masing-masing 5 orang dari Palestina dan Syria, dan 12 lainnya dari Moskow, Rusia. Mereka itu akan belajar di UIN Maliki Malang atas beasiswa dari seorang pengusaha dari Riyad, Saudi Arabia.
Selaku rector, saya bercita-cita,-------sebagaimana saya sebut di muka, agar kampus ini, suatu ketika benar-benar menjadi tujuan para mahasiswa dari berbagai negara, belajar tentang Islam dalam pengertian yang luas. Para mahasiswa belajar tentang Islam di kampus ini, tidak saja Islam sebatas dalam pengertian agama, melainkan Islam sebagai peradaban atau sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Saya ingin agar melalui kampus ini, suatu ketika lahir para ilmuwan di berbagai bidang, misalnya ahli biologi, kimia, fisika, kedokteran, teknik, sosiologi, psikologi, sejarah dan berbagai cabang ilmu lainnya, tetapi mereka juga mampu memahami al Qurán dan hadits secara baik. Saya berharap, dari kampus ini lahir orang-orang yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari ayat-ayat qowilyah dan kawniyah sekaligus.
Memang untuk menjadikan UIN Maliki Malang seperti itu, -----seperti Universitas Al Azhar, tidak akan mungkin bisa diraih dalam waktu singkat. Namun tidak berarti, bahwa hal itu mustahil dicapai. Saya sangat yakin, untuk meraih cita-cita besar seperti itu memang sulit, namun jika para pimpinan, dosen dan karyawan kampus ini semuanya, memiliki komitmen yang tinggi, menurut hemat saya, masih bisa diraih.
Pada saat ini langkah-langkah menuju cita-cita itu telah dirumuskan, bahkan sudah dimulai. Saya berimajinasi bahwa, 25 tahun ke depan, para pimpinan universitas dan fakultas ini telah terdiri atas orang-orang hafidz dan hafidzah. Untuk meraih target itu, mulai tahun akademik 2009 lalu, terdapat tidak kurang dari 34 orang mahasiswa dari berbagai jurusan telah hafal al Qurán minimal 10 juz. Bahkan sebagian besar di antara mereka telah hafal 30 juz. Para mahasiswa hafidz dan hafidzoh tersebut semua dibebaskan dari seluruh biaya pendidikan, hingga lulus S1. Jika prestasi mereka berhasil bertahan, -------- baik dalam merawat hafalan al Qurán maupun di bidang akademiknya tetap unggul, akan diberi beasiswa hingga lulus S3 (Program Doktor).
Selanjutnya, mereka itu akan dipromosikan menjadi tenaga pengajar atau dosen di kampus ini. Program pembibitan ini akan selalu diteruskan pada setiap tahunnya, hingga suatu saat diraih target bahwa sebagian besar para dosen UIN Maliki Malang telah hafal al Qur’an. Jika para dosennya, apalagi para pimpinannya telah hafal al Qur’an, ------dan tentu dengan pemahamannya yang luas, dan mengusai disiplin ilmu yang kuat, serta memiliki karya-karya ilmiah yang unggul, maka pada saat itulah saya sebut UIN Maliki Malang telah berhasil menyamai Universitas Al Azhar, yakni sebuah perguruan tinggi tertua dan sangat dibanggakan oleh umat Islam di seluruh dunia.
Saya membayangkan, target itu akan bisa diraih kira-kira antara 25 sampai 30 tahun yang akan datang. Menghitung umur sampai sekarang, saya tidak akan mungkin ikut menyaksikan kegemilangan UIN Maliki Malang ini. Tetapi saya sudah merasa sangat bahagia, sekalipun hanya sebatas berhasil merumuskan dan membangun cita-cita itu. Saya tahu bahwa kampus di mana pun selalu tumbuh dan berkembang dalam waktu lama, jauh lebih lama dari usia para pendukungnya. Kampus besar di mana dan kapan pun, hanya bisa dibangun oleh orang-orang yang menyandang cita-cita, tekat, dan idealisme, secara sambung menyambung dari berbagai generasi.
Pada saat ini, saya melihat orang-orang yang menyandang kekayaan mulia itu, ----tekat, cita-cita, dan idealisme sudah tampak, baik dari kalangan tenaga pengajar, karyawan, maupun mahasiswanya. Selain itu, saya melihat dengan jelas, bahwa bibit-bibit intelektual dan sekaligus ulama’, atau ulama’ yang sekaligus intelektual, selalu tumbuh, dan jumlahnya semakin banyak. Hitungan sederhana, jika pada tahun 2009 ada 34 mahasiswa hafidz dan hafidzah yang berprestasi akademik tinggi itu lulus hingga program Doktor (S3) dan selanjutnya diangkat menjadi dosen di kampus ini, dan pada tahun-tahun berikutnya jumlah itu selalu ditingkatkan, maka suatu ketika gambaran ideal tersebut akan berhasil diraih. Dengan demikian, UIN Maliki Malang ke depan benar-benar kokoh, dan akhirnya akan menjadi perguruan tinggi yang dibanggakan itu. Wallahu a’lam.
ISLAMISASI ILMU: SEJARAH, DASAR, POLA, DAN STRATEGI
A. Sejarah Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Kata “islamisasi” dinisbatkan kepada agama Islam yaitu agama yang telah diletakkan manhajnya oleh Allah melalui wahyu. Ilmu ialah persepsi, konsep, bentuk sesuatu perkara atau benda. Ia juga suatu proses penjelasan, penyataan dan keputusan dalam pembentukan mental. Islamisasi ilmu berarti hubungan antara Islam dengan ilmu pengetahuan yaitu hubungan antara “Kitab Wahyu” al-Quran dan al-Sunnah dengan “kitab Wujud” dan ilmu kemanusiaan. Oleh karena itu, islamisasi ilmu ialah aliran yang mengatakan adanya hubungan antara Islam dengan ilmu kemanusiaan dan menolak golongan yang menjadikan realitas dan alam semesta sebagai satu-satunya sumber bagi ilmu pengetahuan manusia.
Dalam bahasa Arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendeskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antara etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma' (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat sekular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, termasuk dalam masalah keilmuan.
Sesungguhnya, secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya, ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu, islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an.
Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya, peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu. Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, Westernisasi ilmu adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westernisasi ilmu telah mengangkat keraguan dan dugaan ke tahap metodologi ‘ilmiah.’ Bukan hanya itu, Westernisasi ilmu juga telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan. Menurutnya lagi, Westernisasi ilmu tidak dibangun di atas Wahyu dan kepercayaan agama, namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral yang diatur oleh rasio manusia terus menerus berubah. Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Karena itu, seluruh hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Atas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge", dalam rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia mengatakan bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan berbenturan dengan etika Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu, dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga mendapatkan kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, terutama para pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Tibbi dan sebagainya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan sangat tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang menggunakannya baik, maka ilmu itu akan berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, tetapi jika orang yang memakainya tidak baik, maka ilmu itu akan membawa kerusakan.
Tampaknya Fazlur Rahman menolak konsep dasar bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri telah dibangun di atas pandangan-hidup tertentu. Dia juga tidak percaya bahwa konsep mengenai Tuhan, manusia, hubungan antara Tuhan dan manusia, alam, agama, sumber ilmu akan menentukan cara pandang seseorang terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu, pemikiran sekular juga telah hinggap dalam pemikiran Fazlur Rahman.
Pada umumnya, para pengkritik Islamisasi ilmu berpendapat sains adalah mengkaji fakta-fakta, objektif dan independen dari manusia, budaya atau agama, dan harus dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam misalnya, menyatakan: “Hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.”
Dilihat dari pernyataan Abdus Salam di atas menunjukkan, bahwa tidak ada istilah sains Islam. Abdus Salam, sebagaimana para pemikir Islam sekular lainnya, tidak sepakat jika pandangan-hidup Islam menjadi dasar metafisis dalam pengembangan sains. Padahal, menurut Prof. Alparslan Açikgenç, pemikiran dan aktifitas ilmiah dibuat di dalam pandangan-hidup saintis yang menyediakan baginya struktur konsep keilmuan tertentu sebagaimana juga panduan etis. Seorang saintis akan bekerja sesuai dengan perspektifnya yang terkait dengan framework dan pandangan-hidup yang dimilikinya.
Abdul Karim Sorush juga mengajukan kritik terhadap konsep islamisasi ilmu. Ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, realitas bukan Islami atau tidak Islami. Kebenaran yang ada di dalamnya juga bukan ditentukan apakah ini Islami atau tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau tidak Islami. Para filosof Muslim terdahulu tidak pernah menggunakan istilah filsafat Islam. Istilah tersebut adalah label yang diberikan oleh Barat (a western coinage). Ringkasnya, dalam mengkritik konsep islamisasi ilmu pengetahuan ini, Abdul Karim Sorush menyatakan; (1) metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; (2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa diislamkan; (3) Pertanyaan dan masalah yang diajukan dalam sains adalah untuk mencari kebenaran, meskipun diajukan oleh Non-Muslim; (4) Metode yang digunakan dalam sains juga tidak bisa diislamkan.
Dari pandangan Abdussalam di atas, seakan-akan dia memandang bahwa realitas adalah perubahan. Ilmu pengetahuan dibatasi hanya kajian terhadap fenomena yang berubah. Padahal, realitas adalah tetap dan berubah. Seperti yang dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, "reality is at once both permanence and change, not in the sense that change is permanent, but in thes sense that there is something permanent whereby change occurs."
Berbeda dengan Abdussalam Soroush di atas, Bassam Tibi mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan berarti akan melakukan pribumisasi (indigenization) ilmu. Tibi memahami Islamisasi ilmu sebagai tanggapan dunia ketiga kepada klaim universalitas ilmu pengetahuan Barat. Islamisasi adalah menegaskan kembali (nilai-nilai) lokal untuk menentang ilmu pengetahuan global yang menginvasi.
Namun, sependapat dengan Wan Mohd Nor Wan Daud yang menyatakan bahwa pemahaman Bassam Tibi tentang Islamisasi sebagai pribumisasi yang terkait dengan lokal tidaklah tepat. Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi terhadap Islamisasi ilmu muatannya lebih politis dan sosiologis. Hanya karena ummat Islam berada di dalam dunia berkembang dan Barat adalah dunia maju, maka gagasan Islamisasi ilmu merupakan gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya Islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan perbedaan pandangan-alam antara Islam dan agama atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan saja mengkritik budaya dan peradaban global Barat. Ia juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal, etnik supaya sesuai dengan pandangan-alam Islam. Islamisasi adalah menjadikan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi dan lokalitas universal agar sesuai dengan agama Islam yang universal.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Kerangka Filosofis: Kritik atas Epistemologi Barat
Rifa Fauziyah dalam tulisannya yang berjudul "Islamisasi Ilmu Kontemporer", menegaskan bahwa gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi.
Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.
Sejarah pertentangan antara gerejawan dengan ilmuan; pergumulan yang tak harmonis melibatkan pemuka agama Kristen dengan para saintis di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Age) telah melahirkan desakan pencerahan pemikiran yang dikenal dengan Renaissance/Enlightenment/Aufklarung, masing-masing di Italia, Prancis, Inggris dan Jerman. Keterkungkungan kaum gerejawan yang dianggap menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengimani Bible yang telah banyak diselewengkan, hingga inkuisisi Galileo Galilea yang berpandangan Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) dan bukan sebagaimana diyakini pemuka gereja yang Geosentris (bumi yang menjadi pusat tata surya), justru dijawab para ilmuwan Barat di masa pencerahan dengan “sekularisasi”.
Mereka menanggalkan agama karena agama dianggap telah menghadang perkembangan sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme, dan sebagainya.
Hal itu bermula ketika Bapak filsafat modern--René Descartes (m. 1650)-- memformulasi sebuah prinsip “aku berfikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Penekanan terhadap rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu juga dilakukan oleh para filosof lain seperti Thomas Hobbes (m. 1679), Benedict Spinoza (m. 1677), John Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), Francois-Marie Voltaire (m. 1778), Jean-Jacques Rousseau (m. 1778), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), Georg Friedrick Hegel (m. 1831), Arthur Schopenhauer (m. 1860), Soren Kierkegaard (m. 1855), Edmund Husserl (m. 1938), Henri Bergson (m. 1941), Alfred North Whitehead (m. 1947), Bertrand Russell (m. 1970), Martin Heidegger (m. 1976), Emilio Betti (m. 1968), Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain.
Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangat berpengaruh dalam membangun kerangka keilmuan Barat. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan oleh David Hume yang skeptik. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysicial assertions are without epistemological value).
Pandangan Kant ini semakin mendapat tempat dalam epistemologi Barat modern-sekular setelah didukung oleh filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan pemikiran Kant. Bagi Hegel, pengetahuan adalah on-going process, di mana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai dalam ilmu pengetahuan akan “disangkal” atau dinegasi” oleh tahap baru. Bukan dalam arti bahwa tahap lama itu tak berlaku lagi, tetapi tahap lama itu dalam cahaya pengetahuan kemudian kelihatan terbatas. Jadi, tahap lama itu tidak benar karena terbatas dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan. Pada babak selanjutnya, epistemologi Barat modern-sekular melahirkan faham ateisme. Bahkan, faham ateisme, menjadi fenomena umum dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, teologi Yahudi-Kristen, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Adalah Ludwig Feurbach (1804-1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme di abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man). Agama Kristen sendiri yang menyatakan Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Jadi, agama akan menafikan Tuhan yang bukan manusia. Makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Anthropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).
Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi.
Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula spesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions).
Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis; pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Karasteristik dari setiap fase itu bertentangan antara satu dengan yang lain. Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas–entitas yang nyata yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.
Pemikiran ateistik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan.
Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menulis: “God died; now we want the overman to live.” Dalam pandangan Nietzsche, agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan membiuskan” (momentary amelioration and narcoticizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “seseorang tidak dapat memercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.” Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan imu pengetahuan, Nietzsche menyatakan: “Antara agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda.” Ketika Nietzsche mengkritik agama, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.
Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Neitzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan God is death, maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 M mendeklarasikan the author is death.
Selain melahirkan ateisme, epistemologi Barat modern-sekular telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekular. Pandangan-hidup Kristiani telah mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Selain itu, jika pada zaman pertengahan (medieval times), agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen seperti Santo Augustinus (m. 430), Boethius (m. 524), Johannes Scotus Erigena (m. 877), Santo Anselm (m. 1109), Santo Bonavantura (m. 1274) dan Santo Thomas Aquinas (m. 1274) memodifikasi filsafat Yunani kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka kini pada abad ke-20, para teolog Kristen seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, Harvey Cox[17] dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan peradaban Barat modern-sekular. Mereka menegaskan, ajaran Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan-hidup sains modern yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap Gerejawan yang mengklaim bahwa Gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan, dan properti khusus. Mereka harus menafsirkan kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular.
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa epistemologi Barat bersandar penuh pada logika positivisme (al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari panca indra (empiris) dan akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap “ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian, logika positivisme hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna di balik materi (metaphysic).
Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu: wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya juga merupakan sumber pengetahuan.
Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: ‘alam ghayb (metaphysic) dan ‘alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai realitas akhir.
Berangkat dari sini, teranglah bahwa gagasan Islamisasi Ilmu -sebagaimana diistilahkan Al-Attas- merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap krisis epistemologi yang melanda tak hanya Dunia Islam, tapi juga budaya dan peradaban Barat.
C. Pola Islamiasi Ilmu
Bangunan intelektual yang muncul pada peradaban tertentu, biasanya memiliki spektrum yang luas dan tidak bisa dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an. Pada tahap perekembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari pendekatan dan konsepsi dasar tersebut. Namun ada beberapa konsep dasar yang menjadi titik persamaan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai sarjana Muslim. Misalnya, jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Bagi Al-Atas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya. Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman, sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya, menurut Al-Attas, sukses tidaknya pengembangan islamisasi ilmu tergantung pada posisi manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi).
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disiplin-disiplin ilmu modern dengan khazanah warisan Islam. Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi, tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini, maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada segaris perbedaan di antara Alatas dan al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern – yang penting baginya adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan cara yang berbeda. Sementara Alatas – disamping pengaruh sufisme yang cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka islamisasi ilmu pengetahuannya– lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian (originality) yang digali dari tradisi lokal. Dalam pandangan Alatas, peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.
Agaknya, perbedaan semacam ini, di samping faktor-faktor personal, yang membuat keduanya memilih mengembangkan gagasannya di lembaga yang berbeda. Jika al-Attas kemudian berkutat di International Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di Malaysia, Sementara itu al-Faruqi menyebarkan gagasannya lewat International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. Al-Attas memformulasi dua tujuan pertama dari ISTAC, yaitu:
- Untuk mengonseptualisasi, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan dan epistimologi yang dihadapi muslim pada zaman sekarang ini.
- Untuk memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan berbagai kelompok aliran-aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Sedangkan, IIIT mendefinisikan dirinya sebagai sebuah “yayasan intelektual dan kultural” yang tujuannya mencakup:
- Menyediakan wawasan Islam yang komprehensif melalui penjelasan prinsip-prinsip Islam dan menghubungkannya dengan isu-isu yang relevan dari pemikiran kontemporer.
- Meraih kembali identitas intelektual, kultural dan peradaban umat, lewat Islamisasi humanitas dan ilmu-ilmu sosial.
- Memperbaiki metodologi pemikiran Islam agar mampu memulihkan sumbangannya kepada kemajuan peradaban manusia dan memberikan makna dan arahan, sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan Islam.
D. Srategi dan Kerangka Kerja Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Terdapat beberapa model skematis dalam upaya islamisasi ilmu pengetahuan. Al Faruqi misalnya menggagaskan sebuah rencana kerja dengan dua belas langkah:
- Penguasaan dan kemahiran disiplin ilmu modern: penguraian kategori
- Tinjauan disiplin ilmu
- Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah ontologi
- Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah analisis
- Penentuan penyusunan Islam yang khusus terhadap disiplin ilmu
- Penilaian kritikal terhadap disiplin ilmu modern: hakikat kedudukan pada masa kini.
- Penilaian kritikal terhadap warisan Islam: tahap perkembangan pada masa kini.
- Kajian masalah utama umat Islam
- Kajian tentang masalah yang dihadapi oleh umat manusia
- Analisis kreatif dan sintesis
- Membentuk semua disiplin ilmu modern ke dalam rangka kerja Islam: buku teks universitas.
- Penagihan ilmu yang telah diislamkan
Kemudian gagasan tersebut dijadikan lima landasan objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
- Penguasaan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
- Penguasaan terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
- Penerapan ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu pengetahuan modern.
- Mencari sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
- Memberikan arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke arah pemenuhan kehendak Ilahiyah. Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna mempercepat islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Sementara Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi inteletual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling berkaitan (inter-related characteristics). Kelima prinsip itu adalah:
- Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.
- Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran.
- Membenarkan aspek temporal untuk yang memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler.
- Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
- Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spritual, atau transedental, atau kehiudpan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama atau tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Kelima hal di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan keilmuan di Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Supaya umat Islam terhindar dari prinsip-prinsip yang menjebak di atas, maka ada empat poin yang harus diperhatikan seorang muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu:
- Prinsip-prinsip utama Islam sebagai intisari peradaban Islam,
- Pencapain sejarah kebudayaan Islam sebagai manifestasi ruang dan waktu dari prinsip-prinsip utama Islam,
- Bagaimaan kebudayaan Islam dibandingkan dan dibedakan dengan kebudayaan lain dari sudut manifestasi dan intisari,
- Bagaimaan kebudayaan Islam menjadi pilihan yang paling bermanfaat berkaitan dengan masalah-masalah pokok Islam dan non Islam di dunia saat ini.
- Renungan ini sangat penting, karena apabila kita memperhatikan secara cermat, pengalaman masa lampau serta rencana masa depan menuju satu arah perubahan yang diinginkan, maka harus dimulai dari rumusan sistem pendidikan yang paripurna. Apa yang telah Al-Attas dan Al-Faruqi paparkan, itu merupakan langkah “dasar” untuk bertahannya peradaban Islam.
E. Penutup
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Pada intinya bahwa islamisasi ilmu pengetahuan bertujuan untuk memperoleh kesepakatan baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dan metode ilmiah tidak bertentangan dengan norma-norma (etika) Islam. Di samping itu, islamisasi ilmu juga bertujuan untuk meluruskan pandangan hidup modern Barat secular, yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, terutama dalam masalah keilmuan. Islamisasi ilmu merupakan mega proyek yang belum usai dan perlu diteruskan oleh umat Islam kontemporer dari generasi ke generasi, guna menjawab krisis epistimologis yang melanda bukan hanya dunia Islam tetapi juga budaya dan peradaban Barat. UIN Malang merupakan salah satu universitas yang bertanggung jawab dalam mensukseskan mega proyek ini, agar cita-cita Islam sebagai rahmatan lil'alamin dapat benar-benar tercapai.
Tradisi Jawa Tatkala mengawali dan Mengakhiri Kehidupan
Baik tatkala mengawali maupun mengakhiri kehidupan, orang Jawa biasanya menyelenggarakan ritus atau disebutnya selamatan, yang dikaitkan dengan hitungan hari-hari tertentu. Penyebutan etnis jawa, tidak secara otomatis bermaksud membeda-bedakan dengan etnis lainnya. Sebab, etnis Jawa pun terkait dengan itu sebagian juga sudah berubah, sejalan dengan perubahan zaman. Sebaliknya pula, kadang orang bukan etnis jawa malah meniru-niru, sebagai bentuk adaptasi terhadap adat istiadat Jawa.
Untuk menyambut kelahiran bayi, orang Jawa biasanya melakukan beberapa kali ritus atau kenduri, dan untuk di daerah-daerah tertentu, kegiatan itu diwarnai oleh nuansa Islam. Begitu lahir, seorang bayi dibrokohi. Ritus seperti itu diulang lagi berturut-turut, ketika bayi tersebut berumur tujuh hari, lalu yang ke 48 hari yang disebut dengan istilah selapan. Ritus masih digelar kembali ketika bayi berumur tiga bulan, lalu terakhir pada saat bayi berumur setahun.
Berbeda dengan kelahiran, ritus kematian dilaksanakan pada hari ketiga, dihitung sejak kematian, hari ketujuh, hari ke 40, setelah itu pada hari yang ke 100, dan terakhir pada hari yang ke 1000. Setelah itu, selamatan biasanya sudah tidak dilakukan lagi, kecuali bagi orang-orang tertentu, misalnya kyai pesantren. Keluarga Kyai biasanya, dalam hitungan tertentu, menyelenggarakan apa yang disebut dengan haul.
Ritus atau selamatan yang dilakukan terkait dengan kelahiran, rupanya dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur setelah mendapatkan anugerah, berupa anak itu. Hal itu bisa dilihat istilah yang digunakan, misalnya brokohan. Istilah ini drupanya iambil dari kata barokah, yakni kemanfaatan yang melimpah, sehingga melahirkan kebahagiaan dan keutungan yang abadi.
Sebaliknya terkait kematian, saya memaknai bahwa semua ritus itu digelar sebagai sarana untuk melatih kesabaran dan keikhlasan, setelah ditinggal mati oleh orang yang dicintai. Sabar dan ikhlas ternyata tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, pada hari-hari tertentu diselenggarakan ritus dengan memilih hari-hari tertentu, yaitu mulai hari yang ketiga, ketujuh, empat puluh hari, seratus hari, dan terakhir seribu hari. Jarak pelaksanaan antar ritus itu semakin lama semakin panjang. Maka, tampak dari sana, bahwa ada proses berlatih untuk melupakan terhadap yang meninggal itu.
Memang tidak semua oprang Jawa melaksanakan berbagai ritus itu. Sementara orang Jawa yang sudah terpengaruh oleh paham Islam modern, meninggalkan semua ritus-ritus itu. Padahal jika direnungkan secara mendalam, terutama dari aspek kehidupan social, sebenarnya pelaksanaan ritus itu memiliki manfaat yang cukup besar. Kohesifitas kehidupan masyarakat dapat dibangun melalui upacara ritus-ritus seperti itu.
Memang, ritus-ritus tersebut jika dilihat dari kacamata fiqh, sebagian sulit diketemukan dasar hukumnya. Sehingga, orang akan mengatakan bahwa Nabi tidak melakukan hal itu. Padahal sebenarnya, ritus itu bisa dilihat sebagaimana kita melihat upacara bendera pada setiap tanggal 17 Agustus. Nabi Muhammad tidak pernah menyelenggarakan upacara, misalnya terkait pada hari kedatangan beliau waktu hijrah dari Makkah. Tetapi sebagai bangsa Indonesia yang mencintai tanah airnya, terasa berat meninggalkan upacara hari kemerdekaan itu.
Terkait dengan tradisi ritus ini, ada sesuatu yang terasa tidak lazim dari yang dilakukan oleh Pak SBY dalam mengawali pemerintahannya. Pak SBY tidak melakukan ritus, melainkan gebrakan 100 hari, dihitung sejak pelantikan. Jika gebrakan 100 hari dianggap sebagai ritus, maka juga tidak sesuai dengan adat Jawa. Pada tradisi Jawa, seratus hari biasa digunakan untuk melakukan ritus kematian, bukan mengawali kehidupan. Mungkin saja ada orang yang merasa perlu bertanya, mengapa Pak SBY bukan memilih tiga bulan, sebagaimana setiap bayi Jawa dilakukan ritus, sebagai pertanda syukur. Mengapa beliau justru memilih 100 hari yang hal itu biasa digunakan untuk ritus kematian.
Saya kira, tidak banyak orang yang berpikir soal itu. Sebab bukankah itu semua sesungguhnya adalah urusan Pak SBY. Namun sudah dua kali menjabat sebagai presiden, setelah dilantik beliau menghadapi problem yang amat berat. Dulu pada periode pertama, belum genap seratus hari memimpin, Pak SBY dihadapkan oleh musibah tsunami yang memakan korban jiwa ratusan ribu orang. Lagi-lagi, pada pemerintahanh jilid ke dua ini beliau juga tertimpa fitnah, berupa konflik antar elite dan juga kasus Bank Century, yang juga tidak ringan penyelesaiannya. Kasus terakhir ini juga terjadi sebelum jabatan beliau genap seratus hari.
Sekali lagi, tulisan ini sama sekali bukan ingin mengaitkan antara gebrakan 100 hari dengan kepercayaan tertentu, termasuk kepercayaan yang bersifat klenik yang memang seharusnya ditinggal jauh-jauh dalam alam modern ini. Hanya yang sempat terpikir, kenapa Pak SBY tidak memilih angka 90 sebagaimana angka yang dipilih untuk melakukan ritus kelahiran bayi sebagai tanda bersyukur. Anehnya, beliau justru memilih hari yang ke 100. Padahal angka itu bagi orang Jawa dipilih untuk memperingati hari kematian, dan bukan untuk mengawali kehidupan. Sudah barang tentu, bahwa yang paling tahu tentang latar belakang pemilihan angka 100 itu, adalah Pak SBY sendiri. wallahu a’lam.
by: rektor uin maliki malang