Senin, 15 Februari 2010

Tradisi Jawa Tatkala mengawali dan Mengakhiri Kehidupan

Tulisan ini bukan bermaksud menyinggung, menyindir, atau bahkan menyalahkan siapapun. Catatan singkat ini dibuat sebatas untuk mengingat kembali bagaimana orang jawa tatkala menyambut kehadiran bayi yang baru lahir, sebagai petanda rasa syukur dalam mengawali kehidupan, dan juga sebaliknya, tatkala melakukan ritus setelah kematian.

Baik tatkala mengawali maupun mengakhiri kehidupan, orang Jawa biasanya menyelenggarakan ritus atau disebutnya selamatan, yang dikaitkan dengan hitungan hari-hari tertentu. Penyebutan etnis jawa, tidak secara otomatis bermaksud membeda-bedakan dengan etnis lainnya. Sebab, etnis Jawa pun terkait dengan itu sebagian juga sudah berubah, sejalan dengan perubahan zaman. Sebaliknya pula, kadang orang bukan etnis jawa malah meniru-niru, sebagai bentuk adaptasi terhadap adat istiadat Jawa.

Untuk menyambut kelahiran bayi, orang Jawa biasanya melakukan beberapa kali ritus atau kenduri, dan untuk di daerah-daerah tertentu, kegiatan itu diwarnai oleh nuansa Islam. Begitu lahir, seorang bayi dibrokohi. Ritus seperti itu diulang lagi berturut-turut, ketika bayi tersebut berumur tujuh hari, lalu yang ke 48 hari yang disebut dengan istilah selapan. Ritus masih digelar kembali ketika bayi berumur tiga bulan, lalu terakhir pada saat bayi berumur setahun.

Berbeda dengan kelahiran, ritus kematian dilaksanakan pada hari ketiga, dihitung sejak kematian, hari ketujuh, hari ke 40, setelah itu pada hari yang ke 100, dan terakhir pada hari yang ke 1000. Setelah itu, selamatan biasanya sudah tidak dilakukan lagi, kecuali bagi orang-orang tertentu, misalnya kyai pesantren. Keluarga Kyai biasanya, dalam hitungan tertentu, menyelenggarakan apa yang disebut dengan haul.

Ritus atau selamatan yang dilakukan terkait dengan kelahiran, rupanya dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur setelah mendapatkan anugerah, berupa anak itu. Hal itu bisa dilihat istilah yang digunakan, misalnya brokohan. Istilah ini drupanya iambil dari kata barokah, yakni kemanfaatan yang melimpah, sehingga melahirkan kebahagiaan dan keutungan yang abadi.

Sebaliknya terkait kematian, saya memaknai bahwa semua ritus itu digelar sebagai sarana untuk melatih kesabaran dan keikhlasan, setelah ditinggal mati oleh orang yang dicintai. Sabar dan ikhlas ternyata tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, pada hari-hari tertentu diselenggarakan ritus dengan memilih hari-hari tertentu, yaitu mulai hari yang ketiga, ketujuh, empat puluh hari, seratus hari, dan terakhir seribu hari. Jarak pelaksanaan antar ritus itu semakin lama semakin panjang. Maka, tampak dari sana, bahwa ada proses berlatih untuk melupakan terhadap yang meninggal itu.

Memang tidak semua oprang Jawa melaksanakan berbagai ritus itu. Sementara orang Jawa yang sudah terpengaruh oleh paham Islam modern, meninggalkan semua ritus-ritus itu. Padahal jika direnungkan secara mendalam, terutama dari aspek kehidupan social, sebenarnya pelaksanaan ritus itu memiliki manfaat yang cukup besar. Kohesifitas kehidupan masyarakat dapat dibangun melalui upacara ritus-ritus seperti itu.

Memang, ritus-ritus tersebut jika dilihat dari kacamata fiqh, sebagian sulit diketemukan dasar hukumnya. Sehingga, orang akan mengatakan bahwa Nabi tidak melakukan hal itu. Padahal sebenarnya, ritus itu bisa dilihat sebagaimana kita melihat upacara bendera pada setiap tanggal 17 Agustus. Nabi Muhammad tidak pernah menyelenggarakan upacara, misalnya terkait pada hari kedatangan beliau waktu hijrah dari Makkah. Tetapi sebagai bangsa Indonesia yang mencintai tanah airnya, terasa berat meninggalkan upacara hari kemerdekaan itu.

Terkait dengan tradisi ritus ini, ada sesuatu yang terasa tidak lazim dari yang dilakukan oleh Pak SBY dalam mengawali pemerintahannya. Pak SBY tidak melakukan ritus, melainkan gebrakan 100 hari, dihitung sejak pelantikan. Jika gebrakan 100 hari dianggap sebagai ritus, maka juga tidak sesuai dengan adat Jawa. Pada tradisi Jawa, seratus hari biasa digunakan untuk melakukan ritus kematian, bukan mengawali kehidupan. Mungkin saja ada orang yang merasa perlu bertanya, mengapa Pak SBY bukan memilih tiga bulan, sebagaimana setiap bayi Jawa dilakukan ritus, sebagai pertanda syukur. Mengapa beliau justru memilih 100 hari yang hal itu biasa digunakan untuk ritus kematian.

Saya kira, tidak banyak orang yang berpikir soal itu. Sebab bukankah itu semua sesungguhnya adalah urusan Pak SBY. Namun sudah dua kali menjabat sebagai presiden, setelah dilantik beliau menghadapi problem yang amat berat. Dulu pada periode pertama, belum genap seratus hari memimpin, Pak SBY dihadapkan oleh musibah tsunami yang memakan korban jiwa ratusan ribu orang. Lagi-lagi, pada pemerintahanh jilid ke dua ini beliau juga tertimpa fitnah, berupa konflik antar elite dan juga kasus Bank Century, yang juga tidak ringan penyelesaiannya. Kasus terakhir ini juga terjadi sebelum jabatan beliau genap seratus hari.

Sekali lagi, tulisan ini sama sekali bukan ingin mengaitkan antara gebrakan 100 hari dengan kepercayaan tertentu, termasuk kepercayaan yang bersifat klenik yang memang seharusnya ditinggal jauh-jauh dalam alam modern ini. Hanya yang sempat terpikir, kenapa Pak SBY tidak memilih angka 90 sebagaimana angka yang dipilih untuk melakukan ritus kelahiran bayi sebagai tanda bersyukur. Anehnya, beliau justru memilih hari yang ke 100. Padahal angka itu bagi orang Jawa dipilih untuk memperingati hari kematian, dan bukan untuk mengawali kehidupan. Sudah barang tentu, bahwa yang paling tahu tentang latar belakang pemilihan angka 100 itu, adalah Pak SBY sendiri. wallahu a’lam.

by: rektor uin maliki malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar